Sabtu, 07 Februari 2009

Surat Yasin Bag. 2 (Ayat 5-12)

“(Sebagai wahyu) yang diturunkan oleh yang Maha Perkasa lagi Maha Penyayang..” (5)

Allah memperkenalkan diri-Nya kepada hamba-hamba-Nya di tempat-tempat seperti ini agar mereka memahami hakikat wahyu yang diturunkan kepada mereka. Dia adalah Mahaperkasa lagi Mahakuat, yang sanggup melakukan apa yang dikehendaki-Nya. Dia juga Maha Penyayang terhadap hamba-hamba-Nya, yang melakukan pada mereka apa yang dilakukan-Nya, dan Allah ingin merahmati mereka dalam apa yang dilakukan-Nya.

Sedangkan hikmah diturunkannya wahyu ini adalah untuk memberi peringatan dan penjelasan:

“Agar kamu memberi peringatan kepada kaum yang bapak-bapak mereka belum pernah diberi peringatan, karena itu mereka lalai.” (6)

Lalu merupakan perusak hati paling parah, karena hati yang lalai adalah hati yang tidak menjalankan fungsinya, serta berdiam diri tanpa memetik, terpengaruh, dan merespon. Banyak dalil petunjuk yang menghampiri hati, atau hati melewatinya tanpa merasakannya atau memahaminya, tanpa berdenyut atau merespon. Dari sini, peringatan merupakan sesuatu yang paling tepat untuk menerapi kelalaian yang dialami kaum itu. Yaitu kaum yang dalam beberapa generasi tidak diperingatkan oleh seorang pemberi peringatan pun, atau disasarkan oleh seorang pemberi kesadaran pun. Mereka itu adalah keturunan Isma’il, dan tidak ada seorang Rasul pun sesudahnya. Jadi, peringatan terkadang bisa menggugah orang-orang yang lalai dan tenggelam dalam kelalaiannya itu, yang mereka atau bapak-bapak mereka belum pernah didatangi oleh seorang pemberi peringatan pun.

Kemudian al-Qur’an mengungkapkan kesudahan orang-orang yang lalai itu; juga tentang takdir Allah yang turun pada mereka sesuai pengetahuan Allah tentang hati dan urusan mereka: apa yang sudah terjadi dan apa yang akan terjadi:

“Sesungguhnya telah pasti berlaku perkataan (ketentuan Allah) terhadap kebanyakan mereka, kerena mereka tidak beriman.” (7)

Allah telah menetapkan urusan mereka, dan takdir Allah telah berlaku pada sebagian besar dari mereka, sesuai pengetahuan Allah tentang hakikat mereka dan watak perasaan mereka. Jadi, mereka itu tidak beriman. Ini adalah nasib akhir bagi kebanyakan dari mereka. Karena jiwa-jiwa mereka tertutup dari hidayah, terkunci untuk melihat dalil-dalil hidayah atau merasakannya.

Di sini, al-Qur’an menggambakan sebuah pemandangan inderawi tentang kondisi kejiwaan. Al-Qur’an menggambarkan seolah-olah mereka itu dibelenggu, dihalangi secara paksa dari melihat, serta disekat dengan berbagai sekat dan penutup. Mata batin mereka ditutup sehingga mereka tidak bisa melihat:

“Sesungguhnya Kami telah memasang belenggu di leher mereka, lalu tangan mereka (diangkat) ke dagu, maka karena itu mereka tertengadah. Dan Kami adakan di hadapan mereka dinding dan di belakang mereka dinding (pula), dan Kami tutup (mata) mereka sehingga mereka tidak dapat melihat.” (8-9)

Tangan mereka diikat dengan belenggu pada leher mereka, lalu diletakkan di bawah janggut mereka. Dari sini, kepala mereka ditengadahkan secara paksa. Mereka tidak mampu menatap ke depan! Dari sini, mereka tidak memiliki kebebasan melihat dan mengamati, padahal mereka berada dalam sebuah kejadian yang keras ini! Sampai di sini, mereka dihalangi untuk mendapatkan kebenaran dan hidayah dengan adanya sebuah dinding di depan mereka dan sebuah dinding di belakang mereka. Seandainya ikatan itu dilonggarkan lalu bisa mencoba mengamati, maka pandangan mereka pun tidak jauh akibat adanya dinding-dinding ini! Upaya melihat telah dibuntu bagi mereka, dan pandangan mereka ditutup dengan kesuraman!

Bersamaan dengan kerasnya pemandangan inderawi ini, seseorang benar-benar menjumpai manusia dari jenis ini. Ketika mereka tidak melihat kebenaran yang jelas dan tidak memahaminya, maka terbayang olehnya bahwa ada sebuah penghalang yang kokoh seperti ini antara mereka dan dia. Dan bahwa jika belenggu-belenggu ini tidak ada di tangan, dan jika kepala mereka tidak dipaksa menengadah, maka sesungguhnya jiwa dan mata batin mereka juga demikian. Ia disumpal dengan paksa sehingga tidak melihat hidayah, serta dipalingkan dari kebenaran sejauh-sejauhnya. Ada dinding di sini dan dinding di sana yang menghalanginya dari dalil-dalil hidayah. Begitulah orang-orang yang menghadapi al-Qur’an ini dengan penentangan dan pengikatan semacam demikian, saat al-Qur’an menyampaikan argumen dan membeberkan bukti-bukti nyata. Al-Qur’an itu sendiri merupakan argumen yang memiliki kekuatan yang tidak bisa dibendung seorang pun.

“Sama saja bagi mereka apakah kamu memberi peringatan kepada mereka ataukah kamu tidak memberi peringatan kepada mereka, mereka tidak akan beriman.” (10)

Allah telah menetapkan ketetapan-Nya bagi mereka sesuai pengetahua-Nya tentang watak hati mereka yang tidak bisa ditembus oleh iman. Peringatan ini tidak berguna bagi hati yang tidak memiliki kesiapan iman, dijauhkan darinya, dan dihalangi darinya. Karena peringatan tidak menciptakan hati, melainkan hanya menggugah hati yang hidup dan memiliki kesiapan untuk menerima pesan:

“Sesungguhnya kamu hanya memberi peringatan kepada orang-orang yang mau mengikuti peringatan dan yang takut kepada Tuhan yang Maha Pemurah walaupun dia tidak melihat-Nya. Maka berilah mereka kabar gembira dengan ampunan dan pahala yang mulia.” (11)

Yang dimaksud dengan peringatan di sini adalah al-Qur’an—menurut pendapat yang paling unggul. Orang yang mengikuti al-Qur’an dan takut kepada ar-Rahman padahal ia tidak melihat-Nya..dia inilah yang memetik manfaat dari peringatan. Seolah-olah, hanya dia sajalah yang menjadi sasaran peringatan. Seolah-olah Rasul shallallahu ‘alaihi wasallam mengkhususkan peringatan ini untuknya. Meskipun Rasul menyampaikannya secara umum, namun mereka dihalangi untuk menerimanya, sehingga seruan ini hanya terbatas pada orang yang mengikuti peringatan (al-Qur’an) dan takut kepada ar-Rahman dia tidak melihat-Nya. Orang inilah yang berhak mendapatkan kabar gembira setelah ia memetik manfaat dari peringatan: “Maka berilah mereka kabar gembira dengan ampunan dan pahala yang mulia.” Ampunan terhadap kesalahan-kesalahan yang dilakukannya tanpa bersikeras, serta pahala yang mulia atas rasa takutnya kepada ar-Rahman padahal ia tidak melihat-Nya, dan sikapnya yang mengikuti peringatan yang diturunkan ar-Rahman. Keduanya saling mengakibatkan satu sama lain. Karena ketika rasa takut kepada Allah telah mengisi hati, maka ia pasti mengikutinya dengan pengamalan perintah Allah dan istiqamah di atas manhaj yang dikehendaki-Nya.

Di sini al-Qur’an menegaskan terjadinya kebangkitan dan kecermatan hisab yang meluputkan sesuatu pun:

“Sesungguhnya Kami menghidupkan orang-orang mati dan Kami menuliskan apa yang telah mereka kerjakan dan bekas-bekas yang mereka tinggalkan. Dan segala sesuatu Kami kumpulkan dalam Kitab Induk yang nyata (Lauh mahfuzh).” (12)

Dihidupkannya orang-orang mati merupakan salah satu masalah yang menimbulkan perdebatan panjang. Di dalam surat ini al-Qur’an akan membeberkan beberapa perumpamaan yang beragam. Al-Qur’an memperingatkan mereka bahwa setiap amal yang dilakukan tangan mereka dan setiap jejak yang ditinggalkan oleh amal mereka..seluruhnya dicatat dan dihitung. Tidak ada sesuatu pun yang diabaikan dan dilupakan. Allah-lah yang menghidupkan orang-orang mati, dan Dia-lah yang mencatat apa yang mereka kerjakan dan bekas-bekas yang mereka tinggalkan. Dia-Allah yang menghitung segala sesuatu dan menetapkannya. Jadi, semua ini pasti terjadi menurut cara yang sesuai dengan setiap hal yang diurusi Allah sendiri.

Al-Imam al-Mubin, al-Lauh al-Mahfuzh, dan kata-kata semisalnya merupakan penafsiran yang paling dekat terhadap perbuatan Allah itu. Itulah pengetahuan Allah yang azali lagi qadim. Dan Dia Maha Meliputi segala sesuatu.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar